Hari ini kal pertamai aku menginjakan kaki di sekolah
pindahanku ini, namaku Riris seharusnya aku masih duduk di kelas X sih tapi
karena percepatan jadi aku sekarang duduk di kelas XI dan juga harus pindah
sekolah karena tuntutan beasiswa. Maklumlah aku berasal dari keluarga kalangan
menengah kebawah, Ayahku hanya sebagai salah satu karyawan di salah satu Villa
dan ibuku hanya pedagang kecil – kecilan jadi kalau bukan karena beasiswa
mungkin saja aku harus berenti sekolah.
Sekarang aku duduk di kelas XI IPA1 SMA N 108 Jakarta,
pertama kali aku masuk sekolah memang sih beberapa anak terlihat heran dan
sinis memandangku tapi beberapa hari kemudian keadaan mulai bisa ku kuasai. Aku
mendapat 2 teman (Risa dan Miscale) yang memang dapat mengertiku, sekian bulan
bersama mereka, keadaan mulai berubah dari sekedar teman menjadi sahabat.
Tidak seperti yang kalian bayangkan, mereka bukan sama
seperti aku, mereka berdua terlahir di kalangaan keluarga menengah ke atas,
tapi mereka mengerti dengan semua keadaan ku, mereka tak pernah marah ataupun berkomentar lebih saat banyak
dari tawaran mereka yang aku tolak, bukannya aku tak hargai tapi kalian tau
sendiri aku ini bukan orang berdompet aku juga harus benar benar mengirit isi
dompetku ini, tak sama seperti mereka yang kalangan redcarpet.
Hari ini kami mendapat undangan ke pesta ulang tahun salah
satu anggota di kelas kami, sebelum berangkat
kami berkumpul di rumahnya Miscale, dandananku sederhana tanpa
embel-embel apapun, bukannya karena aku males atau gimana, tapi memang inilah
yang aku punya, karena melihat dandananku yang mungkin seperti anak pembantu
yang mau pergi ke pasar dengan cepatnya mereka menarik tanganku dan langsung
mengajaku ke kamarnya si tuan puteri Miscale.
Disini aku diperlakukan selayaknya puteri yang dirias
Disini aku diperlakukan selayaknya puteri yang dirias
“Duh Riris sayang kamu
mau ke pesta atau kemana sih ? dandananmu kok hancur adur seperti ini ?” kata
Risa
“Ia nih kamu tuh cantik kalo make over sedikit aja, pasti
udah kaya piring yang di cuci pakek Sunlite” kata Miscale sambil nyengir
“kalian ini seperti gak tau keadaanku saja” sautku
“(dengan cepatnya ku ditarik mereka) Ayoo beraksi !!!” Kata
mereka sambil tertawa
Sampai di kamarnya Miscale
aku duduk di depan meja rias yang sangat besar, mungkin bisa dibilang
lebih besar dari almariku di rumah, Risa mendandaniku dari rambut sampai
wajahku dan si Miscale yang lagi serius mengobrak abrik lemarinya hanya untuk
mencarikanku baju, make over pun selesai dan sekarang waktunya berangkat, jujur
ya ini untuk kali pertamanya aku berdandan seperti ini.
Ditengah pestanya Sini tak disengaja baju yang ku pakai kena
tumpah minuman aku takut secera ini bukan bajuku, tapi salah dugaanku, ku kira
Miscale bakalan marah eh ternyata engga, dia malah kepinjut sama cowo yang tadi
numpahin minumannya ke baju yang ku pakai.
Mungkin memang ada kalanya persahabatan itu di uji oleh
masalah, pria pada malam itu membuat kami semakin tak bisa terkendalikan, aku,
Miscale dan Risa mulai memendam rasa sama pria itu, ini bukan salah kami tapi
memang dasar pria itu play boy, bagaimana kami bisa mengelak dengan sosok pria
tampan, tinggi, putih, dan berada, bukannya matre tapi rayuannya itu yang
membuat kami seperti ini. Risa dan Miscale mulai debat karena saling berebut
pria itu, bagaimana gak egois secara mereka memang pacar pria tampan yang
bernama Doni itu.
Sudah beberapa hari Risa dan miscale tak saling sapa, mereka
acuh selayaknya tak kenal, di pikiran mereka hanyalah “Risa perebut pacarku”
dan begitu pula sebaliknya.
sampai satu hari aku pulang dari sekolah dan aku melihat si Doni lagi gandeng pacarnya di taman kota, tanpa pikir panjang segera ku ambil ponsel yang ada di saku belakang tasku dan ku ambil gambar mereka. Karena di ketahui oleh Doni aku cepat cepat lari dan tak sadar mobil telah menabrakku dari belakang, aku terpental dan keadaan yang cukup parah.
sampai satu hari aku pulang dari sekolah dan aku melihat si Doni lagi gandeng pacarnya di taman kota, tanpa pikir panjang segera ku ambil ponsel yang ada di saku belakang tasku dan ku ambil gambar mereka. Karena di ketahui oleh Doni aku cepat cepat lari dan tak sadar mobil telah menabrakku dari belakang, aku terpental dan keadaan yang cukup parah.
Kakiku patah dan kemungkinan tak dapat berjalan lagi,mataku
buta,dan aku tidak dapat bicara lagi setelah kejadian itu cukup berat cobaan
yang ku rasa, hari-hariku penuh dengan lamunan, sempat ku berfikir untuk
berhenti sekolah tapi entah apa yang mendorong kedua sahabatku datang dan
berkata “Sekarang kamilah kakimu, kamilah matamu, kamilah suaramu”
Dari hari itu, hari-hariku mulai bangkit, mereka selalu
menyemangatiku, menghiburku dan menemaniku, sampai keadaanku pulih dan normal
kembali.
Dan sejak hari itu pula aku menyadari bahwa Sahabat itu bukan sebatas kata.
Dan sejak hari itu pula aku menyadari bahwa Sahabat itu bukan sebatas kata.